Albertus Soegijapranata, S.J., lahir pada 25 November 1896, di Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Nama kecilnya adalah Soegija. Soegija lahir di sebuah keluarga Kejawen yang merupakan abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta. Belajar di Kolese Xaverius yang didirikan oleh Pastor Franciscus Georgius Josephus van Lith, S.J. Ketika bersekolah, Soegija dibaptis di Muntilan oleh Pastor Meltens, S.J., dengan mengambil nama permandian dari St. Albertus Magnus. Dari didikan yang didapat di sinilah kemudian ia berhasrat untuk menjadi imam, kemudian ia dikirim ke Belanda belajar di Gymnasium, yang diasuh oleh Ordo Salib Suci/Ordo Sanctae Crucis (O.S.C.) di Uden, Belanda Utara, di sana ia belajar bahasa Latin dan Yunani. Kemudian beliau masuk Novisiat Serikat Yesus/Jesuits (S.J.) di Mariendaal, Grave. Di sini ia bertemu dengan Pastor Willekens, S.J., yang kelak menjadi Vikaris Apostolik Batavia. Pada 22 September 1922 Soegija mengucapkan kaul pertamanya. Pada 1923-1926 Beliau belajar Filsafat di Kolese Berchman, Oudenbosch. Pada 1926-1928 Kembali ke Muntilan mengajar di Kolese Xaverius Muntilan. Pada Agustus 1928 Soegija kembali ke Belanda belajar Teologi di Maastrich. Pada tanggal 15 Agustus 1931 menerima Sakramen Imamat, ditahbiskan oleh Mgr. Schrijnen, Uskup Roermond di kota Maastrich. Namanya ditambah Pranata sehingga menjadi Soegijapranata. Tahun 1933 Soegijapranata kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di Paroki Kidulloji, Yogyakarta, selama satu tahun sebagai pastor pembantu. Tahun 1934 ia dipindahkan ke Paroki Bintaran sampai tahun 1940. Pada 1 Agustus 1940, Mgr. Willekens, S.J., (Vikaris Apostolik Batavia), menerima telegram dari Roma yang berbunyi: "from propaganda fide Semarang erected Vicaris stop, Albert Soegijapranata, SJ appointed Vicar Apostolic titular Bishop danaba stop you may concecrete without bulls" ditanda tangani oleh Cardinal Montini (Paus Pius XII). Soegijapranata menjawab: "Thanks to his holiness begs benediction". Diceritakan pada tanggal 1 Agustus 1940, Pastor Soegija termenung menatap sebuah telegram tentang pengangkatannya sebagai Uskup. Baginya menjadi Uskup itu adalah sebuah salib. Pada 6 November 1940, di gereja Randusari, ia ditahbiskan sebagai Uskup Tituler Danaba, dan merupakan Uskup pribumi Indonesia pertama sebagai Vikaris Apostolik Semarang oleh Mgr. Willekens, S.J. (Vikaris Apostolik Batavia), Mgr. A.J.E. Albers, O.Carm (Vikaris Apostolik Malang) dan Mgr. H.M. Mekkelholt, S.C.J. (Vikaris Apostolik Palembang). Perjuangan Bapa Uskup baru saja dimulai. Pada tahun 1942, Jepang masuk ke Hindia Belanda. Salib berat Uskup Soegijapun mulai dipikul. Semua yang berbau Belanda disita oleh Pemerintah Jepang. Para imam, biarawan-biarawati, dan tenaga-tenaga Gereja ditangkap dan dimasukkan ke interniran. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh para imam dan biarawan-biarawati disita, tidak terkecuali seminari menengah. Anak-anak Jawa dipulangkan, para seminaris dititipkan di pastoran-pastoran untuk melanjutkan pendidikan calon imam dalam diaspora (sembunyi-sembunyi). Tinggallah Bapa Uskup bersama beberapa imam Jawa yang merawat iman umat di wilayah Vikariat Semarang. Dalam kondisi yang sulit ini Bapa Uskup tetap berusaha menunjukkan sikap heroiknya terutama ketika gereja Randusari ingin disita oleh tentara Jepang untuk dijadikan Markas tentara, dengan tegas Bapa Uskup menjawab, "Ini adalah tempat yang suci. Saya tidak akan memberi izin. Penggal dahulu kepala saya, maka Tuan baru boleh memakainya.” Pimpinan tentara itu masih mendesak Bapa Uskup untuk segera menyerahkan aset gereja Randusari. Dan beliau masih bisa menjawab tegas,”Gedung Bioskop itu masih cukup luas. Dan tempatnya pasti juga strategis.” Inilah cara Bapa Uskup berdiplomasi. Pada kesempatan lain, gereja Atmodirono juga ingin disita oleh tentara Jepang. Segera Bapa Uskup meminta orang-orang untuk mengisi ruangan-ruangan yang kosong. Karena masih tetap tampak ada ruang yang kosong, segera ia meminta supaya pintu-pintu itu diberi nama Pastor-Pastor supaya semua ruangan terlihat ada penghuninya. Dengan cara-cara seperti inilah Bapa Uskup berhasil untuk menyelamatkan Harta Gereja. Pada tanggal 15-20 Oktober (Pertempuran 5 Hari) Kota Semarang sudah diblokade oleh tentara Jepang karena kemarahan mereka atas penyerangan pemuda-pemuda Semarang sebelum hari-hari mencekam itu. Tidak terkecuali Pastoran Gedangan tempat Bapa Uskup tinggal menjadi incaran tentara-tentara Jepang. Kedatangan tentara sekutu dimanfaatkan oleh Bapa Uskup untuk kembali mengekspresikan keunggulannya dalam berdiplomasi. Bapa Uskup mendesak pimpinan tentara sekutu untuk mengadakan perundingan dengan pimpinan tentara Jepang. Bapa Uskup berhasil mempertemukan dua pimpinan itu di Pastoran Gedangan. Dari Perundingan itu Bapa Uskup juga mendapatkan info dari Pimpinan Tentara Jepang bahwa malam tanggal 20 Oktober itu tentara Jepang akan menjebak pemuda-pemuda Semarang dan menghabisi mereka di daerah Karang Tempel. Bapa Uskup tidak hanya berhasil menyelamatkan pemuda-pemuda pejuang itu, tetapi juga berhasil membuka blokade tentara Jepang atas kota Semarang. Pertempuran itu pun berhasil digagalkan oleh keunggulan diplomasi Bapa Uskup pada kedua pimpinan tentara Jepang dan Inggris. Sejak tahun 1946 pusat pemerintahan Indonesia berpindah ke Yogyakarta. Soekarno dan Hatta memimpin negeri yang baru lahir ini di Yogyakarta, sementara Sutan Syahrir masih menjabat sebagai Perdana Menteri di Jakarta. Didorong oleh keprihatinan terhadap nasib bangsanya, Mgr. Soegijapranata juga memindahkan Vikariatnya ke Yogyakarta dan tinggal di Bintaran. Saat Agresi Belanda I (21 Juli 1947) itu Bapa Uskup ada di Gereja Purbayan Solo dalam rangka menjalani retret pribadi. Suara sirine dimana-mana, jam malam mulai diberlakukan. Terdengar bahwa Belanda sudah menduduki banyak kota, korban-korban berjatuhan. Suasana yang makin genting ini membuat kementrian penerangan mendesak Bapa Uskup untuk membuat pidato diplomasi yang disiarkan melalui Radio RRI Surakarta. Tanggal 1 Agustus 1947, pidato itu dibacakan di RRI Surakarta pada pukul 20.00 malam. Isi pidato itu berujung pada desakan untuk gencatan senjata demi kehormatan kedua belah pihak. Pada kesempatan pidato itu Bapa Uskup juga membacakannya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda. Pidato itu juga ditujukan untuk umat Katolik Belanda yang seharusnya berterima kasih dan ikut mendukung gerakan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pada tanggal 19 Desember 1948 kembali Belanda menyerang ibukota Indonesia, yaitu Yogyakarta. Inilah Agresi militer Belanda yang kedua. Kota Yogyakarta diblokade. Soekarno dan Hatta ditangkap. Dalam kondisi sulit ini, Bapa Uskup ikut merawat keluarga Soekarno, bahkan menyembunyikan mereka. Dan dalam rangka perjuangan bangsa, Bapa Uskup juga selalu berkontak di Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Pada masa blokade ini Bapa Uskup juga tetap didatangi imam-imam dan umatnya. Suatu hari Pastor Sandiwan Brata berkunjung dan berpesan agar umat Katolik ikut prihatin dengan situasi bangsa. Maka beliau berpesan supaya Natal tahun ini dirayakan dengan sederhana. Suatu hari beliau juga dikunjungi pemuda-pemuda Katolik. Mereka bertanya, sebagai umat Katolik apakah mereka juga harus ikut berjuang. Pertanyaan itu membuat Bapa Uskup marah. Dengan nada marah Bapa Uskup meminta pemuda-pemuda itu untuk pergi berjuang dan kembali kalau sudah mati. Sementara Bapa Uskup ini sendiri dengan kepiawaiannya berdiplomasi, beliau berhasil menembus blokade Belanda dengan tulisan-tulisannya di majalah Commonwealth untuk pembaca di Amerika Serikat. Tulisan-tulisan ini membuka mata dunia tentang situasi yang terjadi di Indonesia, tentang apa yang dilakukan bangsa Belanda terhadap rakyat Indonesia. Belanda berhasil memblokade Pusat pemerintahan, tetapi gagasan-gagasan dari Bapa Uskup tidak bisa diblokade. Pikiran-pikirannya menembus batas diplomasi yang ikut mewarnai perjuangan bangsa Indonesia untuk sungguh-sungguh merdeka. Belanda pun akhirnya mengakui kedaulatan RI melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang ditandatangani tanggal 27 Desember 1949. Setelah itu, Bapa Uskup kembali pindah ke Semarang dan mulailah berkarya sebagai Uskup pada jaman kemerdekaan. Salah satu yang masih menjadi perhatiannya adalah serangan ideologi komunis yang mulai berkembang di Indonesia pada jaman itu dan sudah ia waspadai sejak muda. Pada masa itu Bapa Uskup dengan dibantu Pastor Djikstra mulai bekerja di bidang sosial dan ekonomi. Saat itu mulai dibentuklah serikat-serikat buruh, petani, dan nelayan yang diberi nama Panca Sila. Maka mulailah dikenal Buruh Panca Sila, Petani Panca Sila, dan Nelayan Panca Sila. Pada tahun 1949, Bapa Uskup diangkat sebagai Vikaris Apostolik Militer pertama Indonesia. Seiring berjalannya waktu, hubungan Indonesia dengan Tahta Suci semakin baik, dan akhirnya pada tanggal 3 Januari 1961, seluruh Vikariat Apostolik di Indonesia dinaikan tingkatannya menjadi Keuskupan. Semarang pada saat itu langsung menjadi Keuskupan Metropolitan/Keuskupan Agung. Secara otomatis gelar Bapa Uskup secara resmi menjadi Uskup Agung Semarang. Pada 11 Oktober 1962, Paus St. Yohanes XXIII mengadakan Konsili Vatican II. Bapa Uskup hadir pada sesi pertama (11 Oktober 1962-8 Desember 1962) Dalam kondisi sakit, Bapa Uskup harus banyak melakukan perjalanan ke luar negeri dalam rangka konsili. Dalam perjalanan Konsili dan berobat, beliau singgah di Belanda. Beliau juga punya keinginan mengunjungi keluarga-keluarga missionaris Belanda yang bekerja di Indonesia. Beliau ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka. Kelelahan ini tidak dirasakan lagi, sampai pada malam hari pukul 22.20 tanggal 22 Juli 1963 beliau meninggal dunia di negeri Belanda. Berita meninggalnya Bapa Uskup langsung tersebar dan sampai juga ke telinga Soekarno dan atas perintah Presiden Soekarno, ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giritunggal, Semarang, dalam upacara kemiliteran. Sebagai Uskup Militer yang pertama, ia diberi pangkat Jenderal (Anumerta) dan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional.
dari berbagai sumber.